Jatuh Berarti Membeli

Emang ya puasa itu selalu banyak cobaan. Kejadian ini baru berlangsung, hmmm... 30 menit yang lalu mungkin? Pertama kalinya gue mengalami sendiri. Sering kan lu lu pada kalo di toko menemukan tulisan " PECAH BERARTI MEMBELI". Tapi pernah gak jadi orang yang mecahin?

Jadi tadi gue ke Botani bersama mamah tercinta. Kita masuk ke dalam sebuah toko di dalam Botani buat nyari hadiah buat seseorang. Awalnya semua berlangsung dengan damai hingga tas gue menyenggol sebuah merchandise. Dia jatuh. Prak. Sebenernya jatuhnya gak heboh amat, gak ada efek domino lagian hahaha. Jatuhnya juga dari meja setinggi paha. Semeter juga kurang lah. Tapi terusnya mas-mas nya mengambil barang itu dan menelitinya. Terus dia bilang "wah retak ini, ya.... berarti harus dibeli". Terus ada sound effect petir dalam kepala gue. Kalo denger orang cerita mungkin biasa ya, tapi ini gue ngalamin sendiri rasanya kesel loh! Sumve gue kesel banget, dan malah gue kesel bin suudzon sama si mas nya *astaghfirullah*

Kesel banget, gue gak terima gituu disuruh bayar full sedangkan gue gak merasa sepenuhnya bersalah. Karena gue gak tau gimana keadaan barangnya sebelumnya. Itu aneh menurut kami, soalnya dengan jatuh dari ketinggian yang lebih pendek dari adik gue yang umurnya 7 tahun, lecetnya bisa banyak banget dan bahkan sampai bagian yang lebih terlindung dari luar. Kayak gak lazim aja gitu. Ini lah yang tadi gue bilang memicu gue jadi suudzon. Jangan-jangan barangnya sebelumnya emang udah cacat.

Udah gitu seorang mas lain yang mengaku wakil supervisor menggantikan mas tadi dalam menyuruh kami bayar. Dia pun membawa contoh barang serupa sama yang jatuh, "awalnya begini bu, kita nggak mungkin lah majang barang yang cacat". Tapi gue masih merasa gak adil sehingga kita masih gak terima, masih debat mengenai bayar full itu. Ketidakadaan supervisor hari ini menambah kerepotan. Akhirnya si masnya nelepon supervisor ngasih tau tentang ini dan ternyata tetep aja katanya harus bayar full.

Pokoknya debat ini sampe setengah jam dan akhirnya kita sama-sama setuju kalau kami bayar setengahnya dan barangnya nggak kami bawa.

Mungkin ada yang mikir gue gak tau diri, udah salah masih kagak mau tanggung jawab. Hmm.. gak gitu.

Jadi, gue dididik dengan sistem no excuse sama papah. Sebuah masalah itu ada kalau semua terlibat. Dengan kata lain, jatuhnya barang itu sebenernya bukan 100% salah gue. Gak bisa para karyawan itu nyalahin gue "ya kan mbak yang jatohin, mbak yang salah". Semua faktor saling terkait dan mempengaruhi. Tata letak barang misalnya, tau merchandise gampang jatoh ditaro begitu aja. Harusnya setelah kejadian ini pihak perusahaan bisa berpikir buat mengatur ulang tata letak biar meminimalisir kejadian gini. Soalnya banyak juga barang mahal lain yang tanpa perlindungan.

Terus kewaspadaan karyawan ditingkatkan. Tadi padahal ada mas-mas di belakang gue sama mamah pas lagi liat-liat. Setidaknya, dia bilang "hati-hati mbak". Terus buatlah tulisan PECAH BERARTI MEMBELI itu di setiap ada barang ringkih. Jangan mentang-mentang yang ini cuma pajangan alias bukan di bagiannya, jadi gak ada peringatan. Namanya manusia kan gak sempurna, kami juga tadi konsen sama hal lain.

Selain itu, menurut mamah tadi, orang-orang disana kaku. Mereka melaksanakan aturan dengan jika A maka A dan jika B maka B yang menurut gue gak adil. Semua hal gak ada yang saklek gitu. Einstein aja punya teori relativitas. Kalo barangnya ancur, patah dimana-mana, kebakar, ya gue gak apa-apa bayar semua. Tapi itu tuh bahkan rusaknya gak keliataaan T.T Mereka nggak kreatif menawarkan solusi lain yang adil dan sama-sama baik bagi kedua pihak. Sedangkan solusi kami gak diterima. Balik balik lagi ke kata-kata harus dibeli. Bahkan regen smansa aja menuntut pesertanya buat jadi kreatif. Karyawan toko itu harus pada di regen dulu deeeeeh hahahaha

Ya, jadi hari ini gue belajar sesuatu bahwa dunia itu memang tak adil hahaha yang adil pasti akhirat. Sebenernya gue penasaran bagaimana Nabi Muhammad memutuskan perkara yang begini.

peace,
kirana

Comments

Popular posts from this blog

Kangen Yogyakarta

Rumah Kita (lagi)

Kompas Raja