Pelajaran dalam Sebuah Hubungan (Cerita #1)

 Selamat pagi! Disini sih pagi, gak tau disana

Aku mau meluapkan tentang hal yang lebih dalam daripada biasanya, yaitu tentang perasaan. Sebelumnya aku nggak pernah menulis terlalu detail tentang perasaan ini, karena dari dulu aku merasa belum capable, atau memang malu, atau... ada hal lain dahulu yang mencegah aku menulis tentang ini.

Aku sekarang punya pacar. Sebelum ini, aku nggak. Jadi pacarku sekarang adalah pacar pertamaku (dan mudah-mudahan pacar terakhirku). Tapi bukan berarti aku buta masalah hubungan perasaan antara pria-wanita. 

Aku berhubungan cukup banyak dengan laki-laki di masa SMA ku terutama, sedikit di masa SMP dan sedikit lagi waktu awal kuliah, hubungan yang cukup menyinggung-nyinggung perasaan. Kalau istilah sekarang mah orang bilangnya baper ya. Jaman dulu sih belum ada tuh istilah baper. Tapi kenapa dari banyak orang itu nggak ada yang sampai berstatus pacar? Kebanyakan memang berakhir tiba-tiba aja gitu, entah aku yang menyelesaikan, atau dia. Kata orang sekarang mah ghosting? Gak pernah bener-bener ghosting, karena semua laki-laki yang dulu berhubungan sama aku biasanya ya temen aku juga, atau setidaknya kenalan yang pernah ketemu. Jaman dulu belom hits dating apps atau medsos, dan aku sendiri juga emang gak bisa punya ketertarikan kalau gak ketemu langsung orangnya. Jadi, misalnnya aku udah berhenti SMS-an, ya aku tetep ketemu atau lihat orangnya di sekolah, atau di tempat les.

Meski begitu, nggak pernah ada yang terkenang menyakitkan di hatiku. Semua dulu terjadi go with the flow hidupku aja. Mereka-mereka itu selingan hiburan, buat seru-seruan cekikikan di sela-sela waktu aku belajar. Aku dulu tuh masih merasa ada hal lain yang lebih besar yang mau aku capai, pendidikan dan sekolah. 

Terdengar aku suka main-main? Justru sebaliknya, aku itu sangat serius dalam mencari pasangan. Aku orangnya idealis banget dulu (idealisme aku sekarang udah menurun seiring bertambahnya pengalaman). Dulu itu, sebagian besar karena efek aku yang suka nonton Disney Princess, Barbie, bahkan cerita rakyat dalam negeri dan fairy tail lain sejak kecil, aku jadi sangat memegang prinsip Happily Ever After dan keberadaan Prince Charming yang digadang-gadangkan sama kisah-kisah itu. Menurutku, true love does exist. Lalu, true love itu sendiri adalah harus orang yang "sempurna" untuk aku. Dalam tanda kutip karena dari dulu, kesempurnaan yang aku cari itu bukanlah kesempurnaan objektif, tapi subjektif. Tentu saja ada syarat objektif yang aku mau, seperti berpendidikan baik, pintar, dewasa, punya visi kehidupan dan bisa memimpin. Tapi sisanya aku butuh penilaian subjektif dari feeling aku waktu berinteraksi sama dia, apakah sreg atau ada yang ganjel. Bukan berarti karena dia orang dari keluarga terkaya di Bogor maka aku jadi mau sama dia, bukan berarti dia orang paling pintar di Indonesia jadi aku mau sama dia, dan bukan berarti dia cowok terkeren dan populer di sekolah jadi aku juga mau sama dia. Gak bisa aku tuh terlena sama image kulit luar yang kayak gitu. Pokoknya ungkapan "siapa yang gak mau sih sama dia?" seringnya nggak tepat buat aku. Ya orang aku belum tentu mau, aku selalu harus tau gimana dia memperlakukan aku dan apakah nanti kalau memang kami menikah, akan sejalan.

Begitu kenal seorang laki-laki yang berpotensi "dekat", aku bisa langsung membayangkan gimana rumah tangga kalau sama dia. Makanya banyak laki-laki yang aku rasa nggak bisa sejalan nantinya sama aku, itu tidak aku lanjutkan. Karena ini, malah kelemahanku adalah aku nggak pernah punya pengalaman kegagalan dalam hubungan yang sudah serius.

Lalu, ada satu orang ini, sebelum pacarku yang sekarang, dia satu SMA dengan aku, yang mana paling mendekati idealisme aku. Aku berhubungan (yang kukira) serius sama dia hampir 4 tahun tanpa status apapun, dari mulai kelas 11 SMA. Nah, aku nggak mendedikasikan tulisan ini buat dia, tapi aku menulis ini untuk bisa diambil pelajaran buat kalian yang sedang dalam masalah sama agar bisa lebih awal menemukan red flags, dan buat kalian yang bikin masalah. Kalau dia baca ini, bagus. Mudah-mudahan dia sekarang sudah menyadari apa salahnya, beneran sadar dan bukan sekedar ngomong menyesal tapi dia gak juga berubah. 

Aku kasih tau kalau kamu baca, gak akan ada lagi wanita yang sanggup lagi jalan berdampingan sama kamu kalau kamu masih seperti itu sampai sekarang. Semakin tua, semakin sulit untuk mengubah sikap. Jadi lebih baik kamu berubah sebelum semakin sulit. Aku sama sekali nggak menyesal meninggalkan kamu, seperti apa yang kamu gertakkan kepada aku dulu, malah aku sangat sangat bersyukur bahwa aku melakukannya. Boro-boro aku mau kembali ke kamu, sebenernya aku sama sekali nggak mau kenal denganmu lagi.

Pertemuan kami waktu SMP ya klise anak sekolah lah, dia punya temen yang juga temen aku. Begitulah, kota ini sempit jadi semuanya saling kenal. Lalu ketika masuk SMA ternyata kami satu SMA. Kelas 10 kami gak kenal dekat. Lalu kelas 11 kami jadi cukup dekat karena suatu event di ekskul kami. Dulu kami sama-sama ikut rohis, sampai sekarang juga aku masih mempertanyakan kenapa aku coba-coba ikut rohis dulu, padahal itu nggak aku banget. Setelah satu event ke event lain, kami jadi sering SMS, lalu line, dari yang awalnya ngomong masalah kerjaan, makin lama makin melenceng topik lain.

Lalu ternyata kami ketemu punya cukup banyak persamaan, rumah kami juga dekat. Kami jadi sering pulang dari sekolah bareng, kadang main di rumah salah satu dari kami, atau main di komplek. Lalu semakin dekat, kami makan bareng di cafe, ke mall dan nonton di bioskop bareng. Di sekolah juga kami suka lewat kelas masing-masing dan ngintip (fyi selama 3 tahun kami nggak pernah sekelas). Kami juga masih suka bertukar pesan meski di sekolah. 

Awalnya kami dekat hanya kami saja yang tahu, memang terkadang dicengin, tapi ya kami masih nolak malu-malu najis gitu huek. Kami masih dalam fase backstreet lah, yang mana menurutku ya wajarlah orang baru saling deket awalnya masih nyimpen sendiri dulu, lama-lama pas udah official baru go public. Awalnya aku menikmati fase-fase sembunyi-sembunyi itu, karena aku pikir nanti klimaksnya adalah pas udah go public.

Selain itu, waktu itu emang rohis kami gosip-gosipnya keras untuk orang pacaran. Kalo anak rohis ketauan pacaran nanti disidang. Itu alasan kuat lainnya kenapa kami sembunyi-sembunyi. Waktu pulang bareng, kami jalan terpisah dari sekolah dan baru ketemu di pangkalan angkot. Kalau nonton bareng di bioskop, kami beli tiket terpisah dan baru ketemu di dalam bioskop. Di sekolah juga nggak pernah saling menyapa, cuma lewat pesan aja. Waktu itu, memilih untuk nggak pake status kupikir masuk akal, karena kami menghindari persidangan atau apalah itu yang entah akan terjadi atau gak kalau kami ketahuan. Dengan status yang sekarang nggak ada, kami gak berbohong kalau bilang nggak pacaran. Ya emang nggak. Ditambah dulu itu dia adalah termasuk jajaran ketua bidang di rohis. Jadi, aku nggak mau mengganggu nama baik rohis dan jabatan dia waktu itu.

Aku pikir kucing-kucingan kayak gini akan berakhir pas kami menginjak kelas 12. Kelas 12 itu kan waktunya semua pejabat ekskul sekolah melepaskan masa aktifnya dan digantikan anak kelas 11 karena kelas 12 mau konsen masuk perguruan tinggi. Lagian, itu memang terjadi, kakak kelas banyak yang pas udah kelas 12 lebih berani keliahatan deket sama cewek. Temen-temenku yang aku tau juga udah deket sejak masih aktif rohis kelas 11, pas kelas 12 go public, keliatan pulang bareng dan sering bareng lainnya. Tapi, si dia ini tetep nggak mau aku dan dia go public. Waktu kelas 12 ini aku udah mulai suka nyenggol untuk kita memberikan status buat hubungan kita. Tapi dia masih nggak mau. Okeh disini aku mikir memang meski kita udah kelas 12 tapi lingkungan masih sama, orang-orang masih kenal dekat. Mungkin ya masih nggak enakan sama kenalan-kenalan kami. Okeh sekali lagi aku pikir dia akan siap go public ketika kami udah lulus SMA.

Tibalah saatnya kelulusan, dia melanjutkan ke perguruan tinggi impiannya di Bandung, aku seperti yang kalian tahu, di FKG UI. Bisa dibilang saat itu kami LDR. Beberapa kali ketemu saat liburan semester aja. Aku sering mengantar dia nunggu bus kalau waktu dia mau kembali ke Bandung. Di saat LDR ini adalah puncaknya. Bagi pasangan yang hubungannya sudah settle aja, LDR itu merupakan ujian yang berat. Apalagi kalau kamu ada di hubungan yang ngegantung. Sangat wajar disini aku merasa insecure. Aku merasa disini sudah urgent untuk aku dan dia memiliki status yang jelas. Aku sering sekali meminta, udah nggak ada istilah tembak menembak inimah. Aku lebih ke  mikir ini serius aja, karena toh kami juga tau udah lebih dari 2 tahun kami menjalani hubungan lebih dari teman. 

Tapi apa? Dia tetap menolak setiap kali aku minta ke dia. Alasan dia selalu tidak pernah masuk akal. Menurutku sudah nggak ada alasan lagi untuk nggak memasang status pacar. Lingkungan udah beda, yang kami kenal juga udah beda. Kenapa sih? Apa sih yang aneh di hubungan pacaran ketika kalian udah anak kuliahan? Ini tuh udah jelas tujuannya mau ke pernikahan. Selain itu punya status dan go public dengan memperkenalkan masing-masing sebagai pacar adalah salah satu cara melindungi hubungan saat LDR. Tapi dia bukan juga orang yang no pacaran karena masalah agama. Ketika aku bilang yaudah udahan aja, dia juga nggak mau. Intinya dia masih pengen ada hubungan sama aku tapi dia nggak mau pake status, alasannya itu aneh. Kalau dia bilang karena nggak ada bedanya hubungan kita sekarang dengan dan tanpa status, lalu kalau gitu kenapa gak pake status?

Waktu itu aku cukup khawatir karena lingkungan baru kampus dia disana, yang aku gak kenal orang-orangnya, ada rangkaian ospek yang mengharuskan saling kirim surat cinta, dia juga pernah cerita kalau dikasih coklat sama senior cewek. Aku sampe stres ngepoin temen-temen ceweknya tapi jalan ditempat. Ya gimana ya gak ada yang bisa aku lakukan. 

Kalau kalian sangka masalah dia tuh cuma karena dia gak mau punya status aja, itu salah besar. Dulu memang aku kayak buta, tapi sekarang aku bisa dengan jelas melihat dulu aku itu korban dari gaslighting dan hubungan yang toxic. Orang ini pinter banget main kata-kata diputer balik kemana-mana dan nggak to the point. Selama hampir 4 tahun itu aku selalu jadi pihak yang menuruti dia.

Hei, kalau kamu baca ini dan kamu denial di dalam hati kamu seperti "nggak ah aku juga bisa kompromi dulu dengan hubungan sama kamu" itu berarti kamu belom sadar, sifat egois kamu masih belom berubah dan kamu nggak pernah belajar. Terus aja hidup kayak gitu, let's see siapa yang bisa tahan sama itu tanpa tersiksa batinnya.

Aku sering mengabaikan sakit hati aku, bodoh banget emang. Dia sering berkata abusive tentang masalah fisik. Jaman SMA aku itu anak paskib, menurut orang-orang lain aku kurus di saat itu. Tapi dia selalu mengatakan aku gendut, ngeledek aku perlu diet. Memang pas ngomong dia pake ketawa, kalau dia bilang itu di chat, dia akan pakai emot :P Tapi di hati aku tau itu bukan ledekan kayak cowok gemes ke ceweknya. Ini beneran nyakitin hati. Aku udah ngomong ke dia kalau aku gak suka digituin, meskipun misal itu bener (tapi sekarang aku tau itu gak bener, karena aku liat foto-foto aku zaman dulu aku termasuk kurus) dan dia nggak pernah minta maaf tentang masalah ini. 

Dipikir-pikir, dia emang secara umum nggak pernah mau minta maaf selain kalau emang dia merasa salah, dan kalau itu terjadi, cara minta maafnya berlebihan. Dia nggak pernah peduli kalau perasaan aku itu tersakiti oleh sikap dia yang menurut dia sikap itu gak salah. Duh agak ribet bahasanya tapi ngerti kan maksudnya? It's all about himself, yang penting apa menurut dia, nggak bisa mikirin apa menurut aku, emang dia egois.

Masalah fisik itu, aku pernah juga coba jalan untuk ngebalikin ke dia. Duh gak mau sebenernya ngomongin fisik. Jadi at some point aku pernah bilang "kamu juga tuuh tinggiin badan" dan jawaban dia adalah "aku kan berotot" yang mana, sebenernya nggak juga. Disini maksudnya aku mau ngasih contoh gimana dia itu bisa selalu merasa dia benar, gak ada kurangnya, pendapatnya paling superior. Aku yang dulu nurut aja karena awalnya aku merasa itu bukan hal yang besar dan penting. Tapi lama kelamaan capek juga batin ini.

Secara umum dia selalu ingin menjadi yang superior, kasarnya diktator, aku harus nurut ke dia sampai ke tahap dia nggak mengindahkan perasaan aku dan apa yang aku mau. Dia nggak mau mencoba buat menempatkan diri sebagai aku dan berempati. Semua bersumber dari keegoisan dia dan betapa kerasnya dia sama pendapat dia sendiri, makanya dia menempuh segala cara dari bermain kata-kata hingga bersikap manipulatif, dengan pinternya membuat aku jadi menganggap pendapatnya yang paling baik dan pendapat aku punya cacat. 

Kamu jangan merasa aku memberi kamu pujian, kemampuan seperti ini mengangumkan kalau bisa disertai oleh perasaan. Sayangnya kamu orang yang nggak punya perasaan.

Selama LDR itu, aku juga beberapa kali ngasih dia hadiah yang perlu banyak effort kreatif. Tapi aku nggak pernah puas sama respon terimakasih dia. Aku selalu merasa kurang dihargai. Memang dia pernah juga bikinin aku video sendiri, tapi aku merasa hubungan ini secara keseluruhan timpang di aku. 

Pernah suatu hari ketika masih SMA dia ada acara yang mengharuskan pergi keluar kota, aku masakin dia bekal nasi goreng. Aku bangun sebelum subuh, terus jalan keluar rumah ke rumah dia sebelum terang untuk ngasih bekal itu. Pas aku kasih di luar rumah, dia nggak ada ngomong makasih sama sekali, ekspresinya pun nggak ada senyum atau terlihat terkejut. Dia baru bilang makasih begitu saja juga dengan chat ke aku di sekitar jam 10 pagi. Dia nggak berpikir effort aku untuk bangun pagi, masak dan yang terpenting adalah cari-cari alasan untuk bisa keluar sebelum ada matahari!

Hal-hal nyakitin lain yang kecil seperti itu ada beberapa. Dia pernah lupa ultah aku padahal aku nggak pernah dan selalu menyiapkan suatu surprise. Lalu sekali waktu pas kami masih SMA dia pernah mukul bahu dan lengan aku karena kalah main game di komputer. Pukulannya itu memang pukulan kayak "aaah anjirlaah" yang bukan mukul niat nyakitin aku, lebih kayak orang mukul meja karena gemes aja kalah. Itu salah satu hal yang aku nggak akan pernah banget lupakan karena itu agak keterlaluan. Cuma anak kecil cowo yang masih bisa mukul cewek. Bisa-bisanya udah SMA masih nggak tau kalau itu hal yang gak boleh dilakukan. Dan mengapa dia sampai nggak tau kalau cara main cowok dengan cowok dan cowok dengan cewek itu beda. 

Aku mengamati sepanjang waktu itu bahwa dia sangat narsis dan merasa dirinya sempurna. Dia nggak mau atau nggak bisa introspeksi diri atas kekurangan dia. Kami pernah ngomongin tentang salah satu wanita yang pernah ada hubungan sama dia pas SMP. Cerita dari orang yang aku kenal, si wanita itu dulu harus memilih antara dia, atau satu laki-laki lagi temannya, dan si wanita memilih temannya. Ketika aku konfirmasi itu ke dia, respon dia adalah "justru sebaliknya" yang artinya si wanita lebih memilih dia. Padahal fakta yang ada sekarang adalah, si wanita itu nggak berhubungan sama dia, dan ketika awal dekat sama aku, dia masih belum move on dari si wanita. Bahkan dia pernah mengungkapkan kepadaku bahwa aku mirip sama si wanita.

Aku juga tidak pernah diperbolehkan untuk menonton pertandingan atau latihan dia. Oh ya dia menekuni sebuah olahraga permainan tim dan sering latihan di lapangan depan komplek. Tapi aku selalu nggak diperbolehkan untuk datang kesana, aku nggak tau kenapa. Aku lupa apakah dia pernah menyebutkan alasannya, tapi aku lupa karena pasti menurut aku saat itu, alasannya nggak logis. Aku sampai berpikir itu hanya alasan dan sebenarnya dia malu sama aku karena aku kurang cantik atau gendut. Jadinya dia malu mengenalkan aku sebagai "ceweknya" ke circle pertemanan dia. Seingatku, aku memang tidak pernah dikenalkan di circle pertemanan dia.

Sampailah di penghujung kesabaran aku, 

Bahkan saat itu aja dia masih bisa-bisanya tetap angkuh dan mencoba mendapatkan kontrol akan diri aku. Di awal, dia berusaha meyakinkan aku yang akan rugi kalau kami berpisah pada saat itu. Pada akhirnya dia meminta maaf tapi dengan kesimpulan yang salah. See, dia tetap tidak bisa ambil kesimpulan yang benar karena dia memang tidak pernah mencoba mengenal aku dalam hubungan kemarin, Hubungan kemarin itu tidak terasa timbal balik dan tidak ada kata "saling". Aku lebih merasa seperti aku dipaksa mengikuti cara main dia, dan dia menikmati ada orang yang memuja dia.

Kebutaanku tercerahkan semenjak aku mengenal pacarku yang sekarang. Pacarku yang sekarang adalah temanku satu fakultas satu angkatan. Bahkan dari sebelum pacaran, dia memperlakukan aku dengan sangat baik, dan ada usaha dalam mengejar aku meski waktu itu aku bilang kalau aku sudah ada hubungan sama dia (teman SMA ku). Pacarku yang sekarang, dulu selalu bilang "gak apa apa, kan kamu sama dia gak pacaran" dan kan memang itu fakta. Tapi itu nanti lain cerita, intinya aku tersadarkan. 

Aku nggak pernah selingkuh karena aku selalu bilang kalau aku ada hubungan sama dia, aku juga bilang pada dia kalau ada orang lain, teman sekampus yang mendekati aku. Saat itu aku sebagai "cewek" dia meminta perlindungan, pembelaan dia sebagai orang yang ada hubungan sama aku. Setidaknya biarkan aku ngepost foto kami berdua atau emang resmikan aja status kami biar nggak ada lagi orang lain yang mendekati aku. Menurut aku disana keadaannya udah mendesak. Tapi bahkan di saat seperti itu, dia tetap nggak mau dan lebih ke menyuruh aku memutuskan sendiri.

Note (yang ini opini dari perasaan aku): aku merasa dia mengarahkan aku biar aku pada akhirnya memilih dia dengan keputusanku sendiri, tanpa ada andil dari dia. Lalu seperti tabiat dia, dia akan merasa bangga karena punya seseorang yang memuja dia. Sepertinya dia ada kepuasan sendiri saat bisa mengontrol orang seperti apa yang dia mau (aku mual ketika mengingat perasaan ini)

Sekarang, aku akan mengutip perkataan dia tapi nggak sama persis, ini adalah percakapan aku dan dia ketika aku sudah lelah pada hubungan kita dan nggak lagi mencoba mempertahankan apapun:

Hijau = dia, Merah = aku

"Sebenernya kamu maunya aku ngapain? kamu mau aku larang-larang? Kamu mau aku gak bolehin kamu pergi sama dia?"

"Aku tuh baca alasan kamu kayak gak relevan, kamu bilangnya sayang tapi kayaknya gak sayang"

"Secara tindakan aku belum, tapi perasaanku yakin. Aku nggak mau kehilangan kamu, kamu tidak merasakan hal yang sama ya?" (aku merasakan kesan menyudutkan bahwa aku yang jahat lagi disini karena tidak merasakan hal sama)

"Tanpa bukti, aku gak yakin"

"Ya, itulah kekurangan hubungan ini" (nih kalau memang dia sadar, dan kalau memang dia menganggap hubungan ini berharga bagi dia, dia harusnya mau memperbaiki kekurangan yang dia bilang sendiri ada di hubungan ini kan)

"Kamu gak sayang, kamu sendiri nggak bisa menjamin, kamu cuma gak mau kehilangan"

"Alasan aku nggak bisa bilang ke publik, adalah karena aku belum bisa membuktikan kalau aku bener-bener sayang atau cinta sama kamu. Aku belum bisa memberi hal berharga secara materi seperti rumah atau perhiasan" (???? anjir aku gak pernah minta materi)

"Aku belum bener-bener melakukan hal-hal yang dilakukan orang yang saling mencintai lakukan, misal aku jenguk kamu sakit kan belum pernah"

"Aku baru memiliki perasaan yang kuat sama kamu dan hanya bisa menyatakan kata-kata dan sedikit tindakan, menurutku itu belum bisa menjamin kalau aku mencintai kamu, dan menurutku itu akan memalukan kalau orang-orang tau" (ini semakin tanda tanya besar, aku rasa dia emang udah gak ada ide aja mau alasan apa jadi yaudah dibuat-buat di puter-puter tapi dikemas dengan dramatisir)

"Ya berarti memang nggak kan?"

"Kenapa aku tetap menyatakan kepadamu adalah karena aku gak mau kehilanganmu"

Aku baca berulang kali pun, respon dia tetap aja gak nyambung, gak sreg aja, alasannya nggak masuk akal. Kalau memang bagi dia masuk akal, oke akal kita memang nggak sejalan jadi lebih baik memang kita berpisah.

Terakhir, ini adalah percakapan dahulu ketika aku bilang bagaimana kalau aku memilih pacarku dan memutuskan hubungan dengan dia. 

Pada percakapan di bawah ini, "dia" yang dimaksudkan adalah pacarku sekarang. 

"Nanti kalau ikatanmu dengan dia putus, aku hampir tidak mungkin kembali. Kecewanya aku, marahnya aku, sedihnya aku. Rasa sakit hatiku padamu akan membuatku tidak mau kembali padamu, bahkan setelah semua yang kita lewati" (ini aku anggap dia mengancam, bahwa aku nggak akan lagi bisa menemukan laki-laki baik yang lain, karena aku sudah meninggalkan dia untuk sesuatu yang belum tentu berhasil. Kemudian disini dia menggertak lagi dengan kenangan yang sudah panjang pernah dilewati, akan sayang jika tidak jadi berlanjut)

"Kecuali kau yang mencariku lagi, yang mana berarti berlawanan dengan keputusanmu sebelumnya" (mayday guys, seperti yang aku bilang, dia memang ingin dipuja dan dikejar)

"Itu resiko yang aku ambil, bukan masalah. Kalau gitu berarti memang jodohku bukan dia, dan bukan juga kamu"

"Maka dari itu aku melakukannya lewat jalan lain (biar nggak jadi kayak gitu), bagimu ini mungkin tidak benar, tapi aku yakin dengan ini" (red flags, muncul satu poin keegoisan dia menganggap keputusan dia lagi yang paling benar MESKIPUN menurut aku itu nggak benar)

"Aku sudah bilang ke dia kalau aku ada hubungan sama kamu tapi dia menungguku"

"Ya sudah, emang gak bisa kita jalan beriringan dengan keyakinan berbeda"

"Kalau gitu sekarang apa lagi yang menghalangi kamu meninggalkanku? Di hadapanmu sudah ada pria gagal ini, kamu udah ngerasa aku gak pantes buat kamu? Dan dibelakang sana ada pria sempurnamu, yang selalu ada buat kamu, siap memberimu... dll dll" (disini dia masih menyebutkan banyak siindiran lagi buat "pria sempurnaku", tapi aku terlalu kesel buat nulisnya)

Yak cukup sampai sini percakapannya, hingga akhirnya aku begitu lelah dan meninggalkannya. Aku bukannya masih ingat diluar kepala tentang percakapan ini, tapi aku memang simpan screenshotnya. Aku masih simpan itu untuk mengingatkan aku mengapa aku nggak akan mau lagi balik sama dia, setelah semua yang dia lakukan dan katakan kepada aku.

Aku tidak dendam, kalau dendam kan rasanya ingin aku balas. Tapi aku tidak, aku cuma cukup nggak mau kenal lagi sama dia. Tentu saja dia nggak terhitung sebagai "mantan" karena dia sendiri bersikeras nggak pakai status. Kalau ditanya apakah aku menyesal, atau apakah aku mau mengulang waktu agar ini tidak terjadi, bingung juga ya. Aku nggak menyesal tapi aku nggak mensyukuri kejadian ini juga. 

Satu-satunya yang aku syukuri adalah pelajaran-pelajaran yang bisa aku ambil yang akhirnya menjadikan aku seperti diriku yang sekarang. Lebih berprinsip. lebih menyayangi diri sendiri, dan lebih bisa berdiri akan pendapat sendiri serta tidak terpengaruh pendapat orang lain.

Semoga apapun kejadian yang buruk, tidak menjadikan kalian meratap berkepanjangan. Ketika tulisan ini selesai, disini sudah malam.

selamat malam,

kirana

Comments

Popular posts from this blog

Kangen Yogyakarta

Rumah Kita (lagi)

Kompas Raja