Aceh Trip - Banda Aceh dan Sekitarnya

Hai hai haii

Hari ini aku mau cerita tentang pengalamanku jalan-jalan di Aceh, yes, provinsi terujung di negeri Indonesia raya ini. Dulu pas masih sekolah rasanya cuma sebut-sebut aja "Provinsi Aceh, ibukota Banda Aceh, senjata rencong.." tapi nggak pernah nyangka suatu saat di kehidupanku bakal bisa menginjakkan kaki disitu.

Tanggal 12-17 Agustus 2021 kemarin aku dapat kesempatan buat datang ke Aceh menghadiri acara pernikahan temen aku sekampus, namanya Cut, dari namanya aja udah Aceh banget kan. Aku manggilnya Icut, karena emang dia gitu dipanggilnya. Aku dateng sama dua orang temenku yang namanya Nadhira sama Della.

Foto perjalananku waktu lewat diatas Danau Toba (kalau kalian bisa lihat danau dibawah)

Sebelumnya, foto-foto ini emang aku kasih watermark blog aku, tapi ada beberapa foto (terutama yang foto makanan) itu bukan aku yang ambil fotonya, entah Nadhira entah Della, atau mungkin Icut. Kita kumpulin dokum yang kita punya di satu folder Gdrive, jadi beberapa foto aku udah gak tau siapa yang motret.

Pernikahan Icut

Ini adalah kali pertamanya aku menghadiri pernikahan dengan adat Aceh. Bener-bener beda dan baru buat aku. Biasanya kan kalau di Jabodetabek itu kebanyakan adatnya Jawa, Sunda, Betawi, kalau adat Sumatera paling sering Minang. Aceh ini belum pernah aku liat sebelumnya. 

Mereka punya prosesi penerimaan mempelai pria di kampung mempelai wanita. Mereka ini bener-bener  diantar dan disambut sekampung. Wow. Lalu ada perwakilan dari masing-masing kampung juga yang ngobrol pake bahasa Aceh. Tentu saja aku gak ngerti, tapi ada temen dari keluarga Icut yang sedikit-sedikit menerjemahkan 😀 

Aku, Della, Ajib (suami Icut), Icut putri Aceh, Nadhira

Kota Aceh

Pemandangan di kota Banda Aceh itu bisa effortlessly beautiful. Bahkan dari jendela hotel yang di tengah kota aja, pemandangannya udah cakep banget. Gunung bisa keliatan jelas, langitnya bersih, bikin betah cuma duduk di samping jendela doang juga. Bangun pagi langsung liat jendela tuh bikin mood bagus.

Pemandangan dari kamar hotel

Ada kejadian lucu nih. Kamar kita dikasih coklat compliment dengan tulisan "Happy Wedding" padahal ini bukan kamar pengantinnya :') tapi coklatnya enak kok! dan Icut yang beneran pengantinnya juga ikut makan, jadi sasarannya gak melenceng-melenceng amatlah hahaha

Enak, isinya kayak selai stoberi gitu

Terus, kami diajak jalan-jalan keliling kota sama Icut. Kalau denger nama Aceh kan memang tidak dipungkiri bahwa kita inget kejadian tsunami yang pernah terjadi di Desember 2004 silam. Aku juga inget waktu itu aku yang ada di Bogor aja takut liat tentang tsunami Aceh di TV. Gimana Icut yang mengalami coba. Tapi intinya, sambil berkeliling kami dijelaskan beberapa tempat yang mengingatkan tentang kejadian tersebut.

Salah satu kuburan masal tsunami yang kami lewati

Di Aceh ada beberapa kuburan masal jenazah korban tsunami silam. Kita lewat salah duanya. Bentuknya mirip kayak taman aja, ladang rumput yang dipinggir-pinggirnya ditanami pepohonan. Bahkan ada gazebo yang dibangun untuk para peziarah. Kita bisa tau itu adalah kuburan masal dari namanya yang tertera di gerbang. Dari cerita Icut dan bundanya Icut, dahulu tragedi ini lebih mengerikan dari pemakaman jenazah corona sekarang. Di dalam sana bentuknya udah gak jelas, gak sempat diurus jenazahnya satu persatu, gak semuanya pula ditemukan utuh. Tanah itu dikeruk dan ditimbun dengan alat berat. 

Sekarang, kuburan massal itu banyak diziarahi penduduk yang dulu kehilangan anggota keluarganya dan tidak pernah ditemukan. Sedih banget gak sih :(  

Bagian luar PLTD Apung yang sudah tutup, 
yang warna merah di dalam itu kapalnya

Lalu kita dibawa melihat situs PLTD Apung. PLTD Apung itu adalah kapal laut yang terseret tsunami, dari laut sampai ke tengah kota. Bisa dibayangkan segede apa tsunaminya. Kapalnya itu nggak kecil loh, dan sekarang situs itu berada di tengah kota yang jauh dari pantai. Sayangnya kita waktu kesana selalu nggak tepat. Kita dua kali kesana, yang pertama udah keburu tutup, yang kedua kali memang tutup. Tapi dari luar pagar kita tetep bisa lihat segede apa itu kapalnya.

fotonya goyang dan separo karena diambil dari dalam mobil yang bergerak

Nggak jauh dari PLTD Apung ada Museum Tsunami. Selama PPKM ini, museum itu memang nggak buka, jadi kami gak bisa masuk. Lagipula Icut sendiri trauma dan nggak mau masuk kesana, karena mengingatkan kejadian mengerikan itu. Katanya, museum itu isinya adalah peninggalan benda pasca tsunami, barang-barang rusak dan hancur. Ada juga audio kayak teriakan waktu kejadian gitu. Ya gak heran sih kenapa Icut gak mau masuk, aku jadi dia juga kalo bisa jauh-jauh deh, pengen melupakan.


Oh ya, salah satu hal yang aku notice banget dari Aceh tuh adalah jumlah masjidnya luar biasa. Kita jalan dari bandara sampai ke hotel aja udah ada 7-8 masjid kali kita lewatin. Kerennya lagi, bangunannya itu bagus-bagus. Pokoknya masjid itu besar dan mencolok deh di Aceh. Kata Icut kalau lagi jalan-jalan mepet waktu sholat, mudah banget ketemu masjid disana. Namanya juga serambi Mekkah.

Rasanya nggak afdol dong kalau kami ke Aceh tapi nggak ke Masjid Raya Baiturrahman yang aku kenal dahulu hits waktu tsunami karena salah satu masjid besar yang nggak hancur. Masjid itu udah dibangun lagi jadi lebih megah dari sebelumnya. Bagus banget, arsitekturnya detail, kebersihannya terjaga dan terawat. Aku jadi ingat masjid Nabawi di Madinah pas kesana :") 

2004, selepas kejadian tsunami (nyari dari google images)

2021, sekarang

Meski menarik buat turis seperti kita untuk foto-foto, tapi disana juga ketat aturannya, kalau mau masuk harus berpakaian sopan menutup aurat, dan untuk wanita menggunakan rok atau kulot lebar (no jeans!). Alas kaki juga dititipkan, jadi disana kita telanjang kaki biar gak kotor, kalau lantainya panas ya derita sendiri hahaha

Bentang Alam Aceh

Aku tuh kalau kemana-mana, paling demen pergi ngeliat keindahan alamnya. Di Aceh ini kita dikasih rekomendasi untuk ke gunung Geurute. Jalan kesana dari kota Banda Aceh cukup lama, sekitar 1,5 jam dan berliku-liku jalan pegunungan. Khas banget Sumatera, mirip kayak pengalaman aku waktu ke Sumatera Utara, kampungnya boba (papah aku).

Di perjalanan aja aku dan yang lainnya udah kagum banget. Pegunungannya bener-bener keliatan liar gitu loh, beda sama gunung mas, puncak Bogor lah. Kita juga ketemu sama banyak monyet dan sapi di perjalanan. Mereka masih hepi banget disana, menandakan emang lingkungannya masih nyaman dan habitatnya belum dirusak manusia. Mereka bisa hidup berdampingan dengan damai.

Lalu sampailah kami di gunung Geurute. Lagi-lagi aku amaze (menjurus norak) karena ini pertama kalinya aku liat pantai yang sebelahnya langsung gunung, dan berkabut juga. Biasanya kalau pantai ya laut aja. Kalau gunung ya gak ada pantainya. Kalau aku mah ngarang bahasa sendiri, Geurute aku sebut aja pantai dingin 😂


Liat kan, sebelah pantainya langsung gunung menjulang dan ada kabutnya

Aku yang tidak kalah cakep dari pemandangannya

Agak sedihnya adalah pas kesana sedang mendung, hujan terkadang turun dan masih berkabut. Kalau dilihat mata, pemandangannya tetap luar biasa. Tapi kalau ditangkap kamera jadinya kurang jelas. Selain itu kita gak ambil foto dari tempat yang hits soalnya kurang research, juga karena waktu itu kita lihat disana rame orang..

Setelah puas ngambil foto di Geurute, kita turun lagi untuk mengejar sunset di pantai. Kita diajak ke pantai Maha Corner. Maha Corner tidak jauh dari puncak Geurute dan emang sejalan pulang.  Kita sampai disana masih jauh dari waktu terbenam matahari. Btw, di Aceh maghrib itu jam 7 malam jadi kita cukup santai. Sambil menunggu, kita memesan makanan dan minuman dari kedai yang ada di pinggir pantai.

kita pesen milkshake dengan rasa berbeda,
tapi yang the best disini adalah french friesnya!

Ketika semburat oranye mulai terlihat, kita bertiga mendekat ke batas pantai. HP kita bertiga sama-sama lowbat, dan di Maha Corner ada pemberitahuan kalau foto pakai kamera dikenakan biaya. Karena kita tidak mau ambil resiko, jadi kita foto semua pemandangan dengan HP sekalian menghabiskan batre yang tersisa.
Sunset bersama tangan-tangan kami yang sudah
digambari inai sebagai dayang-dayang Icut

Kuliner Aceh

Bagian favoritku dari Aceh adalah makanan! Makanan di Aceh itu, gimana ya bilangnya, mirip dengan masakan Padang tapi beda. Mungkin lebih nggak berasa bersantan, lalu lebih kerasa rempah dan cabenya mungkin ya. 

Mie Aceh pake toping udang, topingnya banyak pilihan kok!

Kalau kalian temen deket aku, pasti tau betapa aku nggak suka mie Aceh kalau di Jakarta dan sekitarnya. Karena menurutku rasanya kayak mie tapi dibumbuin kari. Terus, yang disini antara mie dan bumbumnya menurut aku kurang blend. Pokoknya nggak mashok aja. Meski begitu, rugi dong kalau udah di Aceh nggak makan mie Aceh otentik. Jadi aku tetap coba. Ternyata.... ENAK BANGET YA ALLAH! Ini rasanya sebeda itu 180 derajat sama mie Aceh di Jakarta dan sekitarnya. Aku sampai mau lagi, dan akhirnya kami makan mie Aceh untuk kedua kalinya malam hari sebelum kembali ke Jakarta.

Orang di Aceh sarapannya nasi gurih

Nasi gurih kurang lebih rasanya seperti nasi uduk tapi lebih "rempah sumatra" gitu. Mirip seperti nasi lemak Malaysia, tapi yang ini rasanya Indonesia. Dia dimakan dengan berbagai lauk yang bisa dipilih, ada dendeng, rendang, telur dadar. Aku suka telur dadar, tapi dendengnya juga enak meski cukup alot. Favoritku dari nasi gurih adalah serundengnya. Sampai-sampai kami pesan tambahan satu mangkok lagi. 

Martabak Aceh

Di Aceh ada martabak telur yang dicampur dengan roti canai. Karena pada dasarnya aku suka telur, aku sih suka-suka aja. Cuma di bagian yang ada roti canai nya itu sensasinya beda. Gak umum gitu karena di pulau Jawa nggak pernah aku makan canai pake telur.

Ayam goreng khas aceh yang pake cabe ijo utuh digoreng

Oh ya, kalau kalian sampai ke Aceh dan udah lapar dari mulai turun pesawat, tepat di sebelah bandara ada banyak warung makan. Salah satunya ada "Ayam Pramugari". Sebenarnya dia tuh restoran masakan khas Aceh, kayak kalau Bumbu Desa itu resto masakan sunda. Nah, lucu kan namanya ayam pramugari, letaknya di sebelah bandara. Kita tanya dong kok dikasih namanya gitu, emang yang punya pramugari apa gimana? Ternyata alasannya adalah karena kaki ayam gorengnya panjang-panjang jadinya kayak pramugari 😂😂 jujur mind blowing, silakan lihat dan perhatikan kaki ayamnya di gambar atas. Aku yang nggak mau rugi, mencoba semua masakan Aceh yang disajikan. Enak-enak semua! Tapi favoritku adalah ayam masak aceh, sampai aku beli bumbunya untuk dibawa pulang. 

Aku minum es timun serut disana. Aku kira awalnya itu timun suri, ternyata timun, yang ijo itu, bonteng. Dia diserut, dikasih es dan diaduk dengan sirup kurnia. Sirupnya harus Sirup Kurnia ya, karena rasanya beda sama sirup merek lain. Rasanya seger, menetralisir rasa lemak dari makanan kita barusan.

Sate Matang

Malam hari setelah pernikahan Icut, kita keluar hotel makan sate. Pas Icut bilang kita akan makan Sate Matang, aku kira ada sate mentah di Aceh. Ternyata, itu nama toko satenya. Untuk satenya sih kurang lebih sate biasa dengan kuah dan bumbu kacang yang disajikan terpisah. Untuk rasanya menurutku enak aja, mirip sama Sate Klathak Pak Pong di Yogyakarta. Oh ya, di warung Sate Matang ini juga kalian bisa memesan kerang dara rebus dengan bumbu nanas.

Duren bisa ditemukan dimana-mana di Aceh

Semua teman yang ada di rombongan aku adalah pencinta duren. Aku sendirian yang nggak suka duren. Mereka dua kali makan duren selama di Aceh, pertama aku nggak diajak dan aku nggak fomo. Kedua, dadakan setelah makan sate matang, jadi aku ikut tapi gak makan. Menurut papahku sih aku rugi, tapi ya gimana ya, orang nggak suka. 

Aku left behind (aku yang motret)

Nah, sekedar info, kata temen-temen aku duren di Aceh enak dan murah. Harganya bisa sekitar 90 ribu untuk 3 buah atau 100 ribu untuk 4 buah. Karena aku nggak tau harga pasaran duren, jadi aku tanya memangnya kalo di Jakarta berapa. Mereka bilang bisa 100 ribu hanya untuk satu buah, dan itu pun belum tentu manis. Oh ya pantas saja mereka memanfaatkan waktu ke Aceh untuk makan duren.


Kita sempat pergi makan canai. Nggak ada yang terlalu beda sih, enak aja karena canai emang enak. Aku memesan yang original pakai susu kental manis. Ternyata waktu datang compang-camping begini. Aku pikir utuh, soalnya biasanya kalau disini kita motong sendiri. Tapi nggak apa-apa, justru aku suka karena udah disobek jadi lebih mudah dimakannya. Teman-temanku yang pencinta duren itu beli canai duren. Beda sama punyaku, canai mereka tidak compang-camping karena durennya ada di dalam canai. Konsepnya seperti canai isi gitu loh. Karena itu, punya mereka lebih empuk dan punyaku sedikit lebih alot.

Kita juga sempat berkunjung sekali ke rumah Icut, yaitu sebelum hari H acaranya Icut, disana kami melihat dan disuguhkan makanan yang baru pertama kali kami coba.

Kue hantaran sudah dipotong sebagian

Kita diceritakan oleh bundanya Icut, kalau orang di Aceh menikah dan sang lelaki bawa hantaran/seserahan, hantaran itu dibarengi oleh kue yang dibuat khusus. Bentuknya bulat mengikuti bentuk nampan tempat bawanya, warnanya ada yang coklat ada yang kuning. Kata bunda Icut (dan kata Icut juga) kue ini isinya gula doang.


Nyicip kue hantaran

Bundanya Icut menyuguhkan sedikit kue hantaran tersebut untuk kita coba. Kurang lebih rasanya kayak dodol guys. Aku cuma kuat makan satu potong dan itu pun butuh waktu cukup lama karena manis dan chewy. 

Mie Caluk

Kita juga disuruh mencoba mie khas Aceh yang namanya mie caluk. Ini adalah pertama kalinya aku dengar dan lihat makanan ini. Pertama kali dilihat, aku kebayang rasanya seperti spaghetti bolognese. Mie nya agak gede dan warna sausnya merah kayak saus bolognese. Tapi ternyata itu adalah saus kacang, dan mienya adalah mie kuning Aceh. Aku suka banget sama mie nya, rasa tepungnya itu kayak rasa kerupuk kuning yang ada di asinan. Tapi aku nggak begitu doyan sama sausnya, karena ya saus kacang. Menuruku sausnya bikin rasa tepung mie yang aku suka ketutup.

Ngomong-ngomong makanan Aceh, tentu di acara Icut tersedia makanan pokok khas Aceh. Seperti biasa aku harus ambil dan coba semuanya. Secara penampakan terlihat seperti makanan biasa dengan nasi dan beberapa lauk pauk serta kerupuk.

Makan di acara

Tapi ketika dicoba, lagi-lagi aku suka banget! Terutama ikan yang disuwir dan diberi bumbu kuning. Pertamanya aku kira itu adalah rebung atau jantung pisang, ternyata ikan. Lalu yang warna hijau itu adalah singkong tumbuk, makanan kesukaan bobaku. Selebihnya ada rendang, kerupuk dan sayur nangka, serta keripik dengan bumbu balado.

Kopi Aceh

Nah, kulier terakhir yang ingin aku bahas tentu saja adalah KOPI. Aceh memang terkenal dengan kopinya. Di ibukota aja kita sering dengar nama kopi Gayo, itu asalnya dari Aceh. Aku berekspektasi aku akan minum kopi setidaknya dua hari sekali di Aceh. Ternyata aku salah, aku jadinya minum kopi SETIAP HARI selama di Aceh :) Kebetulan aku dan Nadhira memang teman minum kopi sejak disini. Hanya Della yang gak bisa minum kopi.

Kuta Alam Roastery, katanya salah satu tempat hits muda-mudi Aceh nongkrong

Kopi pertama yang aku dan Nadhira coba sejak hari pertama sampai di Banda Aceh adalah sanger dingin di Daphu Kupi. Sanger itu sendiri terlihat kayak kopi susu biasa. Tapi ternyata pembuatannya beda loh dari cafe-cafe kopi barat atau modern. Kopi ini diseduh dalam saringan besar, dioper-oper, sampai cukup seduh lalu kopi yang keluar dari saringan langsung dikucurkan ke gelas yang sudah ada susu dan gulanya.

Sanger dingin maupun panas adalah menu wajib yang pasti ada di seluruh kedai kopi Aceh. Pertama kali aku coba rasanya agak terlalu manis buatku. Jadi tiap kali berikutnya aku pesan sanger, aku selalu minta nggak terlalu manis. 

Sanger dingin dengan kue-kue basah untuk camilan sambil ngobrol

Cara pembuatan sanger di gubukan acara Icut

Uniknya di Aceh, setiap kedai kopi punya biji kopi khas masing-masing. Jadi meski dengan menu yang sama, kalau minum di tempat berbeda ya rasanya akan beda. Waktu acara Icut tersedia juga gubukan sanger dingin. Aku dan Nadhira udah pasti nyoba dong. Sanger di gubukan Icut adalah salah satu sanger kesukaan kami. Sayangnya pas kami mau ambil lagi untuk kedua kalinya, persediaannya udah abis.

Pagi hari sebelum menjemput Della di bandara (Della datang lebih lambat sehari daripada aku dan Nadhira), kita pergi ke kedai kopi lagi. Kali ini kami minum di warung kopi yang katanya hits, namanya Kubra atau disebut warung kopinya Cut Zein. Jujur aku sendiri belum pernah mendengar namanya dan aku nggak tau hitsnya kenapa. Tapi justru karena itu, aku malah penasaran coba kopi disana.


Kopi coklat

Di Kubra kami memesan kopi coklat yang menjadi salah satu menu andalan. Untuk rasanya, coklatnya memang enak, tapi rasa kopinya kurang terasa menurut aku dan Nadhira. Maka kami pesan satu gelas lagi kopi hitam untuk berdua. Setelah menghabiskan kopinya, aku baru bisa merasakan bedanya. Kopi di Kubra lebih asam daripada di Daphu Kupi. Kopi Daphu Kupi lebih pahit, dan karena seleraku lebih kepada kopi yang nggak asam, maka aku lebih suka Daphu Kupi. Tapi secara garis besar, kopi di Aceh enak dan yang paling aku suka adalah after taste nya ringan dan nggak yang meninggalkan bau coffee breath gitu.

Perjalanan kopi kami belum berakhir, kami direkomendasikan Icut untuk mencoba kopi nira. Nira itu sendiri adalah sejenis cuka. Menurut bunda Icut, nira itu tipis-tipis antara halal haram, karena kalau kelamaan didiamkannya bisa-bisa terlalu fermentasi dan jadi haram. Tapi tenang saja, disini insyaAllah aman karena selain memang orang-orangnya udah berpengalaman, dasar agama Islam di daerah Aceh juga kuat sekali.

Nira dan kopi terpisah sebelum diaduk, jadi terlihat fancy.
Yang dibelakang itu botol limun punya Icut.

Kedai kopi nira ini namanya Moorden. Aku, Nadhira dan Ajib pesen kopi nira, sedangkan Icut dan Della pesen limun. Ngomong-ngomong sebelum melanjutkan, aku belum pernah lihat limun beneran. "Limun" cuma ada di buku cerita atau novel Lima Sekawan yang dulu suka aku baca. Aku pikir limun itu minuman jadul atau minuman luar negeri. Bahkan aku kira "limun" adalah hanya sebuah kata lain dari "minuman". Okay, mari kita lanjutkan.

Untuk rasanya, enak dan unik. Kopinya tetap kuat, tapi ditambah sedikit sensasi asam dan karbonasi dari nira. Kira-kira rasanya seperti iced coffee lemon, tapi dengan kadar asam yang tidak sekuat lemon dan nira ini sedikit lebih pahit.

-

Aku sangat puas dengan keseluruhan perjalananku di sekitar Banda Aceh selama kurang lebih 4 hari. Dari 5 hari kita di Aceh, 1 hari kita pergi ke Sabang di pulau Weh, sehingga kita di Banda Aceh selama 4 hari. 

Untuk cerita perjalanan ke Sabang akan aku tulis di postingan berikutnya ^^

Saking kita sukanya di Aceh, kita berniat membawa hal-hal yang ada di Aceh ke Jakarta. Jadi kita membawa bubuk kopi, coklat, sampai bumbu masak aceh. Oh ya, kalau mau bawa bumbu masak, untuk amannya dibeli H-1 pergi ke bandara dan langsung ditaro di freezer. Karena bumbu masak ini bumbu basah, bukan bubukan jadi kurang tahan lama. Rasanya bener-bener otentik Aceh. Favoritku adalah bumbu masak ayamnya, sayang sekali aku cuma bawa satu darisana. 

Ada juga coklat seduh yang merknya Socolatte. Itu juga enak banget dan murah. Sayang nggak ada fotonya, karena ketika aku nulis ini, coklatnya udah habis. Kalian bisa coba googling, atau cek di e-commerce kalau mau. Meskipun di e-commerce dijual sedikit lebih mahal, tapi tetap saja itu lebih murah daripada coklat merk pabrik yang beredar di pasaran.

Beberapa merk bubuk kopi kemasan dari Aceh yang aku bawa pulang

Bumbu mie Aceh ini menurut temannya Della rasanya approved.
Kalau yang sachetan gini sih tahan lama kok.

Ayam masak Aceh dan daging Aceh, dimasak mamahku dengan bumbu yang aku bawa dari Aceh

Aku sangat berharap suatu hari bisa pergi lagi ke Aceh. Setelah pengalaman ini, aku jadi tau kalau Aceh sangat indah, seperti permata di ujung negeri ini. Terimakasih Icut dan Ajib yang udah jadi tour guide selama kami di Aceh.

dan terimakasih takdir yang sudah membawa aku mampir ke negeri yang indah itu.

salam,

kirana

Comments

Popular posts from this blog

Kangen Yogyakarta

Rumah Kita (lagi)

Kompas Raja